Pada lapisan ketiga, di balik gejolak dan gejala depresi, sesungguhnya jiwa kita tertekan dan gelisah. Ada sebuah kecemasan yang tidak terpetakan. Kita selalu was-was, berasa ada yang kurang, kita seperti dibuntuti sesuatu yang tidak kasat mata. Sialnya, kita tidak dapat memahami dan menjelaskan apa gerangan yang menyebabkan kita cemas. Ada persoalan batin yang tak dapat kita kenali. Kita membawa dalam kehidupan kita sehari-hari sebuah luka yang tak berdarah namun perih. Dan, meskipun kita dikelilingi oleh banyak teman, keluarga yang baik dan hal-hal yang menyenangkan, kita tetap saja tertekan. Kita tetap sendiri meski di tengah keramaian.
Sejak dahulu kala para nabi mengalami hal yang sama dengan kita. Berikut pernyataan dari nabi Daud : “Mengapa engkau tertekan hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” (Kitab Zabur 42: 6,12). Di balik semua gejala yang tampak, kitab suci menukik pada masalah pokok yakni jiwa kita yang resah dan gelisah. Inilah inti masalah depresi.
Ada tiga hal bisa kita pelajari dari kitab Zabur ini. Pertama, siapapun kita, baik yang dekat dengan Allah atau mereka yang jauh, kita semua bisa tertekan dan gelisah. Tidak peduli seberapa dekat kita dengan Allah, kita bisa saja mengalami depresi selama kita hidup di dunia ini.
Kedua, dalam kondisi tertekan dan gelisah, kita bisa bertanya dan mempertanyakan diri kita (self-talk). “Hai jiwaku…” seolah “saya” sedang menjumpai “diriku” dan bertanya kepadanya “mengapa engkau tertekan dan gelisah?” Kita harus bertanya dan menyelidiki suara-suara hati kita. Suara itu harus diterangi oleh firman Allah.
Ketiga, berharaplah kepada Allah. Kalau ketakutan memiliki objek yang ditakuti, kecemasan tidak memiliki objek sama sekali. Itu sebabnya kita tidak dapat memahami dan menjelaskan apa yang membuat kita cemas. Allah sanggup mengatasi sifat misterius dari kecemasan. Di dalam Allah ada kekuatan untuk menghadapi dan mengatasi depresi.